News &
Updates

News Image

Share

Feature Live in : Kisah Kasih Hidup di Kaki Gunung Welirang dan Penanggungan
23 Oktober 2023

Pada hari pertama, hari Selasa tanggal 17 Oktober 2023, saya berangkat pagi ke sekolah, pembiasaan pagi di kelas lalu memasukkan tas-tas saya ke dalam bagasi bus kami dan berangkat menuju Pacet, Mojokerto, yang letaknya di antara kaki Gunung Welirang dan Penanggungan. Kami berangkat sekitar jam 07.30 WIB dan sampai di sana sekitar jam 09.30 WIB. Kesan saya pertama kali sampai di Pacet adalah udaranya sejuk sekali dibandingkan dengan udara di Kota Surabaya. Rasanya kalau menghirup napas itu sangat puas. Banyak sekali hembusan angin yang membuat hawanya di sekitar tetap sejuk walaupun di bawah terik matahari siang hari. 

Kami per kelompok dipanggil maju untuk bertemu dengan induk semang kami. Induk semang kelompok kami adalah keluarga Ayra Avinsya. Mereka sangat ramah dan mereka menerima kami dengan hangat.

Kami berlima yang terdiri dari saya, Jasmine, Kaile, Ayra dan Bu Indi selaku Ibu Ayra berjalan pulang menuju rumah induk semang kami yang tidak jauh dari SMP Santo Yusuf Pacet, Mojokerto. Rumah yang saya akan tinggali berada di dekat Jembatan Kromong dan Kali Kromong. Saat saya sampai di rumah, saya dapat mengenal keluarga Ayra lebih dalam. Bu Indi memiliki usaha warung dan toko ban di daerah Kali Kromong sehingga pada hari ini juga kami bisa mengunjungi dan bermain air di Kali Kromong. Airnya dingin sekali. Jauh lebih dingin daripada di Surabaya. Selain itu, airnya jernih sekali. Saat saya main air dengan adiknya Ayra yang bernama Aysha, kami melihat beberapa sampah plastik di kali tersebut. Pada saat itulah saya merasa prihatin akan adanya sampah di kali yang indah ini, sehingga saya memutuskan untuk mengumpulkan sampah-sampah tersebut dan membuangnya di tempat sampah terdekat. Dari ilmu yang saya dapat dari bergabung dengan komunitas Duta Lingkungan (Dulink) di sekolah, sampah plastik membutuhkan 20 sampai 500 tahun untuk terurai sepenuhnya. Dampak sampah tersebut pada lingkungan sekitar tentunya buruk, membuat saya ingin membantu membersihkan dunia ini dari sampah dan hal ini tidak sengaja dilihat dan diperhatikan oleh Aysha dan temannya. Mereka pun juga ikut memungut sampah dari kali tersebut. Saya merasa bangga dapat menjadi teladan. Sandal saya sempat hanyut terbawa arus saat mengambil bungkusan camilan. Saya benar-benar panik saat melihat sandal saya semakin lama semakin menjauh dari saya. Jalan di air juga susah, apalagi dengan dasar yang berbatu ini membuat tapakan kaki saya tidak stabil. Saya tetap kejar sandal saya, untungnya Aysha dapat menangkap sandal saya sebelum sandal saya benar-benar hanyut. Pengalaman saya hampir kehilangan sandal ini walaupun kecil tetapi akan sangat memorable bagi saya. 

Saat membantu di warung Ibu, kami ikut membuatkan pesanan-pesanan pembeli, seperti membuat pop mie. Lalu, bersama-sama, kami menutup warung dan kembali ke rumah. Kami pun mandi dan istirahat sedikit. Kami berbincang-bincang dengan induk semang kami. Saat waktunya makan malam, kami memutuskan untuk pergi jalan kaki ke tempat penjual sate yang berjarak 2 km dari rumah kami. Selama berjalan kami benar-benar bisa melihat pemandangan di Pacet saat malam hari yang indah dan sepi. Dari atas kami bisa melihat kerlap-kerlip cahaya dari rumah-rumah yang berada di bawah Pacet. Walaupun perjalanannya lumayan jauh dan ada beberapa jalan yang sampai menanjak, tetapi saya tetap senang dapat mengalami hal tersebut. Setelah kembali membeli sate, kami makan bersama di rumah, membersihkan diri lalu menulis refleksi hari ini sebelum tidur.

Pada hari kedua, hari Rabu, 18 Oktober 2023, pagi-pagi saya bangun kedinginan. Badan saya merinding, Saya tidak mengira di Pacet bisa sedingin ini. Sayangnya, saya harus mandi pagi-pagi dengan air yang sedingin air es itu, saya cepat-cepat memakai pakaian saya hari ini sebelum menggigil kedinginan. Setelah menggosok gigi saya dan sarapan, Jasmine, Kaile dan saya pamit pada Bu Indi dan berangkat ke sekolah untuk menonton penampilan budaya Pacet. Melihat penampilan Bantengan, Rampak, Tumpengan dan Pencak Silat yang ditampilkan dengan sangat baik oleh siswa/siswi hebat dari SMP Santo Yusuf Pacet membuat saya semakin bangga dengan kekayaan keberagaman budaya Indonesia. Para sesepuh Desa Pacet datang untuk mengedukasi kami tentang filosofi/makna di belakang Tumpengan dan Bantengan yang baru saja ditampilkan. Tumpengan memiliki 5 lauk, ini menunjukan bahwa kita manusia terdiri dari bumi (tanah), geni (api), banyu (air), bayu (angin). Jajanan pasar yang terdapat di tumpengan ini menunjukkan harapan agar cita-cita para murid gampang gangsar (lancar) atau dalam kata lain, dapat terwujud dengan baik. Polo pendem yang ada di Tumpengan ini seperti singkong, kentang dan kacang menunjukkan bahwa Bumi bisa menghasilkan makanan yang sudah disediakan tersebut dan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa makanan sehingga makna dari keseluruhan tumpengan ini mengajarkan kita untuk menghargai alam kita. Kesenian Bantengan hanyalah sebuah rangkaian yang berasal dari seni Pencak Silat diadakan sebagai unsur hiburan, untuk pertunjukkan Rampak merupakan turunan dari Bali dan pertunjukkan Pencak Silat dianggap sebagai suatu kegiatan olahraga/olah fisik pada zaman dahulu.

Selanjutnya kami dapat menyerap ilmu mengenai sosio budaya Pacet, mengetahui mengenai Pacet sebagai desa tertua di daerahnya, peninggalan sejarahnya, faktor pendorong pendirian Pacet yaitu faktor geografis yang merupakan pemandangan gunung indah yang bisa dinikmati di Pacet, faktor ekonomi (bahwa mata pencaharian utama di Pacet adalah pertanian) dan faktor sosial budaya yang merupakan bentengan yang sudah ditampilkan tadi. Kami juga dapat mempelajari bagaimana mereka dapat terus hidup rukun dalam keberagaman terutama keberagaman agama yaitu dengan saling menghormati dan menghargai tetapi tidak hanya terhadap sesama tetapi juga terhadap alam.

Tindakan nyata kami menghargai alam yaitu dengan memungut sampah-sampah yang berserakan di Kali Kromong. Saat di perjalanan, kami mendaki sekitar daerah kali tersebut, kami melihat sawah-sawah dan pemandangan gunung yang indah. Setelah itu, kami melakukan kegiatan outbond lain yaitu bercocok tanam dan menangkap ikan. Perasaan lumpur di sela-sela jari kaki saya saat bercocok tanam merupakan perasaan yang tidak akan saya lupakan, menangkap ikan dengan kedua tangan saya pun juga menjadi momen yang sangat memorable bagi saya. Saya belajar bahwa menangkap ikan pun juga ada tekniknya, harus fokus dan tenang, memegang ikannya pun harus di bagian tertentu untuk menghindari siripnya yang tajam. Saya dapat menangkap 2 ikan kecil untuk dimasak nanti.  Kami pun membersihkan diri kami masing-masing dari lumpur dan pulang ke rumah induk semang kami. Sampai di rumah, saya mencuci baju dan mandi. Kami semua makan malam dan berbincang-bincang, mengenal sesama lebih dalam sampai larut malam. 

Dari hari kedua ini saya dapat memetik nilai hidup tentang cinta dan belas kasih terhadap sesama dan alam; keberanian/ketangguhan dalam mendaki tadi, bercocok tanam dan menangkap ikan, serta nilai hidup kebersamaan antara saya, teman-teman saya sekelompok dan keluarga induk semang.

Pada hari ketiga, hari Kamis, 19 Oktober 2023, saya melaksanakan kebiasaan saya setiap pagi yaitu mandi, gosok gigi, dan sarapan. Sarapan pagi ini adalah bubur ayam. Saya sangat menyukai bubur ayam yang dibelikan oleh Bu Indi. Setelah kami sarapan, saya mengerjakan dan menyelesaikan kolase yang sudah kami cicil proses pembuatannya selama 2 hari kami tinggal di sini. Selesai mengerjakan kolase, kami berjalan menuju warung ibu induk semang kami dekat Kali Kromong. Saya beserta Jasmine dan Kaile mengikuti keseharian Bu Indi yaitu menjaga warung dan membuatkan pesanan pembeli di warung. Selain itu, kami juga sempat bermain air di Kali Kromong, menikmati suasana pagi yang sejuk, merasakan aliran air dingin yang menyegarkan menyentuh tubuh saya dan mendengarkan suara gemericik air yang mengalir di kali tersebut. Perasaan hati saya benar-benar damai saat dekat dengan alam. Kami pun kembali ke rumah dan menutup warung sementara untuk makan siang. Lauk makan siang saya ayam goreng dan tumisan wortel beserta kentang yang sangat saya sukai. Saya lumayan terkejut bahwa racikan bumbu tumisan tersebut hanya bawang putih dan bawang merah beserta garam dan gula secukupnya. Walaupun dengan lauk sederhana, saya benar-benar mensyukuri bisa makan siang ini. Mengingatkan saya lagi bahwa kesederhanaan pun juga indah. Setelah membuka kembali warung, saya menemukan bahwa banyak dari teman-teman saya sedang berkunjung ke Kali Kromong juga dan sedang bermain air. Saya hanya menyapa dan melihat mereka sebentar lalu kembali membantu mencuci piring di warung. Saya tidak sadar betapa pegal tubuh saya saat mencuci piring dalam posisi jongkok itu sampai saya akhirnya berdiri. Untungnya, saya dan Kaile bergantian mencuci piringnya sehingga pekerjaan tersebut menjadi tidak terlalu berat. Saat jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, kami menutup warung dan kembali ke rumah sebentar untuk persiapan kami pergi keluar untuk makan malam terakhir bersama keluarga induk semang dan menyerahkan kolase kebhinnekaan kami kepada mereka. Keluarga Ayra menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih untuk kenangan kebersamaan kami.

Tidak terasa sudah tinggal malam ini dan besok subuh kami tinggal disini. Pengalaman live in di Pacet sangat berkesan bagi saya. Dari hidup di perkotaan untuk pergi ke manapun  membutuhkan transportasi atau selalu memakai kendaraan, adanya sedikit alam dan sedikit interaksi sosial di sekitar lingkungan kami sehingga individualisme semakin kuat, beralih ke hidup di pedesaan sarana transportasi yang masih jarang, banyak orang yang berjalan kaki, di manapun mata memandang selalu ada alam dan masih banyaknya interaksi sosial antarsesama dengan saling menyambut dan menyapa antara warga. Benar-benar terasa adanya kebersamaan di masyarakat desa. Saya juga merasa lebih mandiri, mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, lebih menghargai alam, dan lebih menghargai keberagaman di sekitar.

Keesokkan harinya, Jumat, 20 Oktober 2023, kami semua bangun pagi untuk packing kembali, mengambil kembali jemuran, menyeterika pakaian kami dan mandi. Kami berangkat ke sekolah berjalan kaki diantar oleh induk semang dan kami mengucapkan terima kasih dan pamit pada Bu Indi. Kami memasukkan barang-barang kami ke bagasi bus, membeli oleh-oleh di rumah retret Bintang Kejora dan memulai perjalanan kami pulang ke Surabaya.

(Penulis: Cathleen, 8D/03)